Minggu, 26 April 2015

SAHABATKU





GUE APA ADANYA

AKU SUDAH TERBIASA DENGAN KESENDIRIAN
MEREKA HANYA MENGENALKU SECARA KEBETULAN,
MELUPAKAN ORANG YANG KITA SAYANG SANGATLAH SULIT, NAMUN JIKA KITA TERUS KEBAWA ARUS KESEDIHAN MAKA HIDUP AKAN SURAM, JADIKAN HARI INI TITIK PEMBELAJARAN UNTUK MEMULAI ESOK YANG LEBIH BERMAKNA, KEHADIRANMU BUKAN UNTUK SESEORANG SAJA, NAMUN JADIKAN KEHADIRANMU BERMAKNA BAGI SEMUA ORANG YANG ADA DISEKITARMU, INGAT JANGAN PERNAH TAMPAKKAN KESEDIHAN DIDEPAN ORANG KARENA MEREKA AKAN MENERTAWAKAN KESEDIHANMU,....
cREAated by:

Irsan Suandi Karim

Kamis, 23 April 2015

MIMPI YANG TERTUNDA

Saat mata mulai terpejamCahaya putih hadir dalam tidurku,Rupanya sosok bidadari menghampirikuMembisikkan kebahagiaan kepadakuCinta kan selalu abadi besamakuWalau takdir tak pastiSosok bidadari itu berjanji akan selalu bersamakuMemaksaku menghentikan bayangan yang telah menyakitiMenghilangkan luka yang terpendamMenghadirkan kembali kebahagiaankuTiba-tiba sosok itu hilangBerbisik akan hadir kembaliSaat aku mengikuti jejaknya,Aku kembali melihat cahaya putihAku semakin penasaran dengan cahaya ituSaat aku membuka kelopak mataRupanya cahaya itu,Sinar matahari yang begitu cerahNamun, aku masih penasaran dengan mimpikuKapankah aku bisa melanjutkan mimpi indahku,Agar aku bisa mengenal siapakah sosok,Yang hadir dalam mimpiku yang tertunda ini...... 



KEPERGIANMU

Kau hadir membawa keceriaan
Mengajarkanku indahnya persahabatan
Sosokmu begitu tegas terhadapku
Menyamangatiku kala aku terpuruk
Mendorong diri ini dalam kebaikan
Sungguh indah hidup ini dengan hadirnya dirimu
Saat mentari belum nampak
Kabar buruk tiba-tiba menghampiri
Kabar tentang kepergianmu
Diri ini seakan tak percaya
Takdir pun berkata lain
Ternyata betul engkau telah pergi
Isak tangis pun tak tertahankan
Rasa haru dan kesedihan yang berlarut seakan tak ada hentinya
Siapakah yang harus disalahkan dengan semua ini
Ya Allah, mengapa engkau begitu cepat mengambilnya dari pangkuanku
Apakah salah dan dosanya ?
Namu, Kedewasaanlah yang membuat diri ini tersadar
Mungkin inilah jalan terbaik untuk kita semua
Karena kuatahu setiap yang bernyawa akan merasakan kematian
Begitu pula dengan diri ini yang akan menyusulmu di surga-Nya
Selamat jalan sosok penyemangatku,
Diri ini hanya bisa mengikhlaskan serta mendoakanmu
Kuyakin hidupmu tenang dialam sana

Semoga kita bisa dipertemukan di surga-Nya kelak. Amin 

MALAIKATKU

Wahai malaikatkuTahukah kamu, betapa berbahagianya diriku,Bisa menikmati indahnya hidup ini,Engkau begitu hebat memperjuangkan aku,Hingga aku bisa terlahir kedunia
Meskipun nyawa-Mu taruhannyaTerimakasih malaikatkuPerjuanganmu tak akan bisa tergantikan oleh apapun,Doaku selalu terpanjatkan untukmuAgar engkau terus mengarahkanku kejalanNyaYa Allah terimakasih telah mengahdirkan malaikat
Yang begitu mulia untukkuYang selalu bersabar dengan sikapku,Yang selalu merawat ketika aku sakit,Kini umurnya sudah senja,Namun, semangatnya mengalahkankuWahai malaikatku,
Suatu saat aku kan membahagiakanmuMeski pengorbananmu tak bisa tergantikanSetidaknya aku berusaha
Agar engkau tidak meneteskan air mataKarena ulahku,Ya Allah cabutlah nyawaku, jangan cabut nyawa malaikatku.....



Kesejahteraan Sosial UIN Alauddin Makassar angkatan 2013 yang selalu kompak...


Kamis, 09 April 2015

TRIO KAMPREET MAKASSAR






MAKALAH GELANDANGAN DAN PENGEMIS

MASALAH GELANDANGAN DAN PENGEMIS
DI KOTA MAKASSAR
MAKALAH

Description: Kampus trans UIN-2006.png

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH USAHA DAN KEBIJAKAN KESSOS
DOSEN PEMBIMBING : Drs. Rusli Razak, M. Si
DISUSUN OLEH KELOMPOK IV
IRSAN SUANDI
ABDUL AZIS
A.MUH ALIF NUGRAHA INDRA DJ
RESKY NURFAJRIANTI WAHAB
NUR AYU

PMI-KESEJAHTERAAN SOSIAL (KESSOS) A
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Pemikiran
            Dalam aktivitas sehari-hari kita sering mendengar istilah gelandangan, pengemis, fakir miskin, komunitas punk, atau orang yang luntang lantung. Apapun sebutan yang dipakai, semua istilah itu merujuk pada orang-orang yang sering lalu lalang di jalanan untuk mencari sesuap nasi. Gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang akut. Keduanya menjadi masalah sosial baik kota besar maupun di kota kecil. Hal ini karena kemiskinan yang menjadi penyebab utama munculnya gelandangan dan pengemis yang belum berhasil dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Berbagai variabel fundamental yang memengaruhi peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan seperti kemiskinan, ledakan urbanisasi karena ketimpangan pembangunan kota dengan desa, kualitas sumber daya manusia yang rendah, angkatan kerja yang tidak terampil, keterbatasan daya serap angkatan kerja di sektor formal, tingginya angka putus sekolah pada tingkat Sekolah Dasar, dan etos kerja yang rendah, belum berhasil diatasi. Sehingga gelandangan dan pengemis terus meningkat dan merupakan fenomena kemiskinan kota.
            Penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis menjadi tanggung jawab negara. Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sementara itu pasal 34 ayat 2 menegaskan “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Berdasarkan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pada bagian pertimbangan menyatakan: a) Bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan. b) bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan pengemis agar mampu mencapai taraf hidup kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai Warga Negara Republik Indonesia.
            Endang Sastraatmadja, dalam bukunya Dampak Sosial Pembangunan, seperti dikutip Yusrizal, mengartikan gelandangan sebagai sekelompok masyarakat terasing, yang lebih sering ditemukan dalam keadaan tidak lazim seperti di kolong jembatan, lorong-lorong sempit, sekitar rel kereta api atau emperan toko, dan dalam hidupnya terlihat berbeda dari manusia merdeka lainnya. Berdasarkan pandangan K.H. Ali Yafie menjelaskan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta atau memiliki pekerjaan atau memiliki keduanya, tetapi harta atau hasil dari pekerjaannya hanya mencukupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokoknya. Sementara itu menurutnya orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta benda atau tidak memiliki penghasilan tetap atau memiliki penghasilan, tetapi penghasilannya hanya mencukupi kurang dari seperdua dari kebutuhan pokoknya. Berdasarkan pandangan para ulama menjelaskan bahwa gelandangan merupakan orang-orang yang sangat miskin sehingga tidak memiliki tempat tinggal untuk melindungi diri dari terpaan alam. Status sosial gelandangan lebih rendah dibandingkan dengan status sosial orang miskin. Keluarga miskin berdasarkan indikator yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik masih mimiliki tempat tempat tinggal meskipun sangat sederhana, sedangkan gelandangan sama sekali tidak memiliki tempat tinggal untuk berteduh.

B.                 Defenisi dan Pengertian
            Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal.
            Akar muncul fenomena gelandangan menurut al-Qur’an adalah kemiskinan. Al-Qur’an menyebut nama istilah miskin dalam bentuk tunggal sebanyak 11 kali dan menyebutnya dalam bentuk jamak masakin sebanyak 12 kali. Jadi secara keseluruhan al-qur’an menyebut istilah miskin sebanyak 23 kali. Adapun faktor yang menyebabkan kemiskinan dilihat dari segi mentalitas dapat diringkaskan pada empat keadaan sebagai berikut: Pertama, adh-dha’if, yakni keadaan seseorang yang diliputi kelemahan, yakni lemah semangat, lemah akal dan ilmu, lemah fisik, dan lemah keterampilan sehinnga tidak sanggup menjalankan fungsinya sebagai pemimpin atau Khalifah Allah di muka bumi. Kedua, al-khauf, yakni keadaan diri seseorang yang diselimuti oleh suasana takut yang mencekam sehingga tidak memiliki keberanian untuk mencoba bekerja, berusaha, berdagang, atau menjadi tukang, karena tidak berani mengambil resiko gagal, rugi, atau kehilangan modal. Ketiga, al-kaslan, yakni keadaan jiwa seseorang yang diliputi oleh kemalasan sehingga hilang kesempatan, waktu, dan peluang untuk mengembangkan potensi dirinya dengan optimal. Sebenarnya setiap orang memiliki potensi untuk menjadi orang berhasil dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi seorang pemalas menjadi fakir dan miskin akan kemalasannya. Keempat, al-bakhil, yakni keadaan diri seseorang yang didominasi oleh sifat kikir. Sifat dan karakteristik kebakhilan ini menjadikan diri seseorang hanya bisa menerima, tetapi tidak bisa menyalurkan sehingga dirinya seperti saluran air yang tersumbat. Akibatnya tidak ada air yang mengalir ke dalam pipa yang tersumbat, dan lama-kelamaan kadar air dalam pipa tersumbat itu berkurang, bahkan hingga tidak ada sama sekali.
            Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Pengemisan juga merupakan masalah sosial yang juga berakar dari kemiskinan. Menurut al-qur’an, pada harta orang kaya terdapat hak orang miskin, sedangkan sikap orang miskin terhadap hak mereka pada harta orang kaya itu terbagi dua. Ada orang miskin yang meminta hak mereka dan ada orang miskin yang tidak meminta hak mereka pada harta orang kaya. Al-Qur’an menjelaskan hal itu pada ayat berikut:
            “sesungguhnya orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (syurga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam, dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta. Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirinya sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab), rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan”(QS. Adz-Dzariyyat: 15-23).
            Gelandangan dan Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.
            Gelandangan dan pengemis adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pengemis dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti : kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.
            Pandangan semacam ini mengisyaratkan bahwa gelandangan dan pengemis, dianggap sulit memberikan sumbangsih yang berarti terhadap pembangunan kota karena mengganggu keharmonisan, keberlanjutan, penampilan, dan konstruksi masyarakat kota. Hal ini berarti bahwa gelandangan dan pengemis, tidak hanya menghadapi kesulitan hidup dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks hubungan sosial budaya dengan masyarakat kota. Akibatnya komunitas gelandangan dan pengemis harus berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya. Namun demikian, gelandangan dan pengemis memiliki potensi dan kemampuan untuk tetap mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Indikasi ini menunjukkan bahwa gelandangan dan pengemis mempunyai sejumlah sisi positif yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
            Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal.
            Akar muncul fenomena gelandangan menurut al-Qur’an adalah kemiskinan. Al-Qur’an menyebut nama istilah miskin dalam bentuk tunggal sebanyak 11 kali dan menyebutnya dalam bentuk jamak masakin sebanyak 12 kali. Jadi secara keseluruhan al-qur’an menyebut istilah miskin sebanyak 23 kali. Adapun faktor yang menyebabkan kemiskinan dilihat dari segi mentalitas dapat diringkaskan pada empat keadaan sebagai berikut: Pertama, adh-dha’if, yakni keadaan seseorang yang diliputi kelemahan, yakni lemah semangat, lemah akal dan ilmu, lemah fisik, dan lemah keterampilan sehinnga tidak sanggup menjalankan fungsinya sebagai pemimpin atau Khalifah Allah di muka bumi. Kedua, al-khauf, yakni keadaan diri seseorang yang diselimuti oleh suasana takut yang mencekam sehingga tidak memiliki keberanian untuk mencoba bekerja, berusaha, berdagang, atau menjadi tukang, karena tidak berani mengambil resiko gagal, rugi, atau kehilangan modal. Ketiga, al-kaslan, yakni keadaan jiwa seseorang yang diliputi oleh kemalasan sehingga hilang kesempatan, waktu, dan peluang untuk mengembangkan potensi dirinya dengan optimal. Sebenarnya setiap orang memiliki potensi untuk menjadi orang berhasil dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi seorang pemalas menjadi fakir dan miskin akan kemalasannya. Keempat, al-bakhil, yakni keadaan diri seseorang yang didominasi oleh sifat kikir. Sifat dan karakteristik kebakhilan ini menjadikan diri seseorang hanya bisa menerima, tetapi tidak bisa menyalurkan sehingga dirinya seperti saluran air yang tersumbat. Akibatnya tidak ada air yang mengalir ke dalam pipa yang tersumbat, dan lama-kelamaan kadar air dalam pipa tersumbat itu berkurang, bahkan hingga tidak ada sama sekali.
            Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Pengemisan juga merupakan masalah sosial yang juga berakar dari kemiskinan. Menurut al-qur’an, pada harta orang kaya terdapat hak orang miskin, sedangkan sikap orang miskin terhadap hak mereka pada harta orang kaya itu terbagi dua. Ada orang miskin yang meminta hak mereka dan ada orang miskin yang tidak meminta hak mereka pada harta orang kaya. Al-Qur’an menjelaskan hal itu pada ayat berikut:
            “sesungguhnya orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (syurga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam, dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta. Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirinya sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab), rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan”(QS. Adz-Dzariyyat: 15-23).
            Gelandangan dan Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.
            Gelandangan dan pengemis adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pengemis dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti : kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.
            Pandangan semacam ini mengisyaratkan bahwa gelandangan dan pengemis, dianggap sulit memberikan sumbangsih yang berarti terhadap pembangunan kota karena mengganggu keharmonisan, keberlanjutan, penampilan, dan konstruksi masyarakat kota. Hal ini berarti bahwa gelandangan dan pengemis, tidak hanya menghadapi kesulitan hidup dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks hubungan sosial budaya dengan masyarakat kota. Akibatnya komunitas gelandangan dan pengemis harus berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya. Namun demikian, gelandangan dan pengemis memiliki potensi dan kemampuan untuk tetap mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Indikasi ini menunjukkan bahwa gelandangan dan pengemis mempunyai sejumlah sisi positif yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
C.                Faktor-Faktor Penyebab
Faktor penyebab dari gepeng (gelandangan dan pengemis)
Masalah sosial tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan adalah masalah gelandangan dan pengemis. Permasalahan sosial gelandanagan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti hal hal kemiskinan, pendidikan rendak, minimnya keterampilan kerja yang di miliki,lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Adapun gambaran permasalahan tersebut dapat di uraikan sebagai berikut :
1.                  Masalah kemiskinan. 
kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
2.                  Masalah Pendidikan 
Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperleh pekerjaan yang layak.
3.                  Masalah keterampilan kerja.
Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
4.                  Masalah sosial budaya 
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis: 
a.                   Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimiliki rasa malu untuk minta minta.
b.                  Sikap pasrah pada nasib. 
Mareka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c.                   Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang 
Ada kenikmatan tersendiri bagi orang yang hidup mengelandang 
D.                Data dan Fakta
JUMLAH GELANDANGAN, PENGEMIS DAN ANAK JALANAN
MENURUT KECAMATAN DI KOTA MAKASSAR
TAHUN 2014
Kode Wilayah
Kecamatan
Gelandangan Pengemis
Anak Jalanan
(1)
(2)
(3)
(4)
010
MARISO
27
162
020
MAMAJANG
13
126
030
TAMALATE
23
55
031
RAPPOCINI
17
74
040
MAKASSAR
32
147
050
UJUNG PANDANG
12
32
060
WAJO
11
45
070
BONTOALA
19
77
080
UJUNG TANAH
13
71
090
TALLO
26
32
100
PANAKKUKANG
42
133
101
MANGGALA
14
28
110
BIRINGKANAYA
13
27
111
TAMALANREA
43
34
JUMLAH                                                   305                                                             1.043
TAHUN
2013
305
 1.043
TAHUN
2012
269
990
TAHUN
2011
204
918
TAHUN
2010
186
901
TAHUN
2009
144
870
TAHUN
2008
340
869
TAHUN
2007
280
1.407
Sumber: Dinas Sosial  Kota Makassar



            Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 jumlah gelandangan dan pengemis terbanyak terdapat pada kecamatan tamalate yakni sebanyak 23 orang dan jumlah anak jalanan terbanyak terdapat pada kecamatan panakukang yakni 179 orang. Dengan total jumlah gepeng dan anjal di kota Makassar pada tahun 2009 yakni sebanyak 1014 orang.
            Untuk tahun 2011 jumlah gepeng dan anak jalanan menembus hingga 2000 orang dibandingkan tahun 2010 yang hanya sekitar 1200 orang.  Adapun data terakhir pada tahun 2012 lalu jumlah gepeng dan anjal mengalami penurunan, tercatat ada 990 Anjal dan Gepeng yang terdapat di Kota Makassar. Dari hasil penulusuran diketahui bahwa gepeng dan anjal tersebut berasal dari kabupaten Maros, Gowa dan Jeneponto.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis
            Terdapat kenyataan bahwa orang gelandangan itu tidak hidup di perdesaan tetapi hidup di perkotaan dan semakin besar tingkat perkembangan kota maka akan semakin banyak jumlah orang gelandangan nya. Adanya orang gelandangan merupakan konsekuensi dari perkembangan kota. Masalah gelandangan juga karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa aman sebagian warga desa dan yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Selain gelandangan, pengemis juga merupakan salah satu potret kemiskinan perkotaan. Dalam ukuran status sosial, kedudukan gelandangan lebih terhormat dari pengemis karena ia mempunyai pekerjaan yang tetap. Sedangkan pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain.
Ada tiga cara penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama ini dilakukan pemerintah, yaitu melalui usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif. Adapun tujuan dari penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
            Adapun yang dimaksud dengan usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan. Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah:
a)        Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga, terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya.
b)        Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya.
c)        Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditrasmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
            Sementara itu usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir dimaksudkan untuk mengurangi atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif ini dilakukan dengan razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan pelimpahan gelandangan dan pengemis ke panti rehabilitasi.
            Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian pelatihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali, baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi, maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut sehingga dengan demikian gelandangan dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.
B.       Manfaat dan Mudarat
            Dengan adanya  gelandangan dan pengemis yang berada di tempat umum akan menimbulkan banyak sekali masalah sosial di tengah kehidupan bermasyarakat di antaranya:
a.    Masalah lingkungan (tata ruang)
Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman, bawah jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu mereka di kota besar sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta keindahan kota.
b.    Masalah kependudukan
Gelandangan dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan dan tempat umum, kebanyakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan (RT/RW) setempat dan sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
c.    Masalah keamanan dan ketertiban
Maraknya gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
d.   Masalah kriminalitas
Memang tak dapat kita sangka banyak sekali faktor penyebab dari kriminalitas ini di lakuakan oleh para gelandangan dan pengemis di tempat keramaian mulai dari pencurian kekerasan hingga sampai pelecehan seksual ini kerap sekali terjadi.
            Gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang kompleks serta multi dimensi. Menghadapi masalah sosial ini al-Qur’an menawarkan beberapa prinsip dalam pemberdayaan gelandangan dan pengemis sebagai berikut:
Pertama, prinsip ta’awun, yakni prinsip kerjasama dan bantu membantu diantara lembaga pemerintah seperti Depsos, Dinas Sosial Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, Lembaga Swadaya Masyarakat, kalangan perguruan tinggi, organisasi profesi pekerja sosial, para relawan dan dermawan, serta penyandang masalah kesejahteraan sosial, guna menolong gelandangan dan pengemis agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri dalam mengatasi kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip ta’awun ini merupakan perintah Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana tersurat pada ayat:
“Dan tolong menolonglah kamu sekalian (orang-orang beriman) untuk mewujudkan kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya”(QS.al-Ma’idah:2).
Bentuk ta’awun ini meliputi kelembagaan, manajemen, finansial, sumber daya manusia, program, metodologi, dan kebijakan sehingga melahirkan kekuatan terpadu dalam mengatasi gelandangan dan pengemis.
            Kedua, prinsip syura’, yakni prinsip musyawarah diantara pemerintah dan pihak-pihak yang disebutkan di atas dalam satu program kepedulian terhadap masalah gelandangan dan pengemis dengan mengidentifikasi masalah-masalah sosial yang menyebabkan munculnya fenomena  gelandangan dan pengemis, serta merumuskan langkah-langkah penanggulangan yang berkesinambungan. Agenda syura’ ini terutama berkenaan dengan cara-cara mengenali masalah dengan tepat, menemukann data yang akurat, melahirkan langkah yang cepat, menyamakan persepsi dalam mengatasi gelandangan dan pengemis. Sebab mengatasi masalah tersebut tanpa social capital di atas tidak akan mengalami pengakaran tetapi akan rapu seperti bayt al-‘ankabut (rumah laba-laba), jika dilakukan tanpa berpegang teguh kepada prinsip sura’. Sebab prinsip sura’ berai pengakuan dan penghargaan atas eksistensi pemikiran, ide, kehendak, pengalaman dari setiap komponen dari komunitas. Dengan mekanisme sura’ berarti memperluas tingkat ketertiban dan partisipasi setiap komponen masyarakat dalam setiap tahapan pemberdayaan gelandangan dan pengemis.
            Ketiga, pemberdayaan gelandangan dan pengemis itu dilakukan dengan berpegang kepada prisip bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah diri mereka dengan penguatan kekayaan mentalitasnya, yakni keimanan dan ketakwaan, serta penguatan life-skill kecakapan hidup yang terpendam. Tugas para pendamping dalam pemberdayaan gelandangan dan pengemis itu menolong mereka untuk bisa menolong diri mereka sendiri dengan melibatkan para gelandanghan dan pengemis dalam lengkah-langkah pemberdayaan berikut:
1.      Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak memberdayakan (recall depowering and empowering experinces) yang menyebabkan mereka menjadi gelandangan dan pengemis disatu pihak, serta menyadarkan kembali bahwa mereka memiliki kemampuan untuk hidup layak dan bermartabat tanpa menjadi gelandangan dan pengemis.
2.      Mendiskusikan alasan mengapa terjasdi pemberdayaan (discuss reason for depowerment and empowerment) pada diri mereka guna menguatkan tekad mereka untuk berubah.
3.      Mengidentifikasi suatu masalah yang muncul pada waktu melakukan pemberdayaan (identify one problem or project) dengan merumuskannya pada kategori kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
4.      Mengidentifikasi basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan (indentify useful power basis), terutama berkenaan dengan life-skill education.
5.      Mewngembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya (develop and implement action plans) setelah kembali kepada masyarakat guna menjalani hidup yang layak dan bermartabat.
Keempat, pemberdayaan gelandangan dan pengemis didasarkan atas prinsip kasih sayang dan berbagi diantara kaum aghniya dan dhu’afa. Pola ini bisa diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah untuk kepentingan pemberdayaan mereka dan pengembangan para mantan gelandangan dan pengemis tersebut untuk bisa hidup mandiri melalui program pelatihan keterampilan, peningkatan kualitas keterampilan, memasarkan produk keterampilan, menghubungkannya dengan jaringan permodalan dan pasar yang lebih luas, menanamkan budaya menabung, serta mengembangkan budaya belajar untuk hidup lebih baik. Untuk itu,mereka perlu ditampung dalam forum komunitas mantan gelandangan dan pengemis. Sebab masyarakat yang berhasil mengembangkan dirinya adalah masyarakat yang berhasil menciptakan suasana dan semangat pembelajaran yang mandiri diantara mereka sehingga mereka memenuhi pesan al-Qur’an:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengembangkan) kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (Q.S. al-Ma’idah: 2).
            Kelima, pemberdayaan kaum dhu’afa secara umum dan pemberdayaan gelandangan dan pengemis hendaklah untuk hidup lebih baik setelah melewati tahapan penyadaran hendak dilakukan oleh komunitas mantan gelandangan dan pengemis itu sendiri. Mereka hendaklah berpegan kepada prinsip bahwa setiap individu dalam komunitas mantan gelandangan dan pengemis itu memiliki saham dan tanggung jawab yang sama dalam mengembangkan potensi yang dimiliki komunitas tersebut, serta dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi. Beberapa individu yang memiliki pengalaman keberhasilan berbagi dengan mereka yang masih mengalami kesulitan dan dalam pengembangan diri untuk bisa lebih berdaya.
            Keenam, kaum muslim yang memiliki aset kekayaan dan tergolong dalam kelompopk muslim al-aghniya perlu senantiasa menyadari dengan penuh keinsafan bahwa di dalam harta mereka  ada hak kaum dhu’afa, yakni kaum fuqatua’ dan masakin. Dengan demikian, pemberdayaan dan pengembangan kaum dhu’afa itu hendaklah, selain berbasis social capital seperti prinsip ta’awun, prinsip syura’ dan prinsip pendistribusian aset komunitas dengan merata, tetapi juga dilaksanakan dengan modal finansial yang berasal dari komunia al-aghniya (orang yang mampu) melalui zakat, infak, dan sedekah, yang dialokasi bagi pengembangan kaum dhu’afa (orang-orang lemah), ditengah-tengah masyarakat seoerti disebutkan diatas hindari kemungkinan pemberdayaan dhu’afa denbgan mengandalkan bantuan dana asing, lebih-lebih dengan cara mengutang. Sebab, baik bantuan berupa hibah, maupun berupa pinjaman, akan menjadi diri kita tergantung pada bantuan asing. Rasullah dalam salah satu doa beliau bermunajad kepada Allah: “ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat malas, dililit utang, dan dikuasai seseorang.” Alih-alih memberdayakan dhu’afa malah diri kita tanpa kita sadari menjadi tidak berdaya terhadap kekuatan asing. Wa Allah A’lam bi ash-Shawab.




BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
       Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah  faktor internal, yaitu  individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya;
       Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.  Faktor-faktor tersebut ádalah : (i) kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal; (iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan
       Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota.
B.       Saran
       Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kota Makassar tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri, terutama jika dilihat dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang, kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kegiatan menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga menjadi akar penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal.        Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota Makassar). Gepeng yang beroperasi di empat kota tersebut “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan memperoleh penghasilan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Marpuji, dkk. (1990). “Gelandangan di Kertasura”. Surakarta: Monografi 3 Lembaga             Penelitian Universitas Muhamadiyah.
Alkotsar, Artidjo (1984). Advokasi Anak Jalanan”. Jakarta: Rajawali.
Anonimus (1980). “Peraturan Pemerintah No. 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan       dan Pengemis. Jakarta.
Breeman, Jan C (1980). “The Informal Sector in Research, Theory and Practice Comparative        Asian Studies”. Rotterdam: Program Publication No. III.
Chambers, Robert, (1983). “Rural Development: Putting the Last First”.
Friedmann, John. (1979). “Urban Poverty in Latin America, Some Theoretical Considerations”.    Upsala: Development Dialogue, Vol. I
Hart, Keith (1973). “ Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana”. Journal             of Modern Africana Studies.
Humaidy, M.Ali Al (?). “Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa Pragaan Daya           Sumenep Madura”. Pamekasan: STAIN.
Iqbali, Saptono. (2005). “Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu, Kabupaten     Karangasem”. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana.
Rajab, Budi, (1996). “Persoalan Kemiskinan dalam orientasi Kebijaksanaan Pembangunan”,          Bandung: Majalah  Ilmiah PDP Unpad Prakarsa
Suparlan, Parsudi (1984). “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam           Gelandangan pandangan Ilmu Sosial”. Jakarta: LP3ES.